Muslimah Indonesia

Ini pembicaraan yang terbawa dari kisah perjalanan tadi siang.
Tadi siang saya berbelanja ke kota dengan seorang kawan. Dia perempuan Korea yang dulu pernah tinggal di Indonesia dan belajar bahasa di (BIPA??) UI. Seperti biasanya saya keluar memakai tutup kepala dari wol seperti kebanyakan dipakai orang korea. Sebenarnya di kampung saya, nenek-nenek juga memakainya.Dan saya senang memakai itu tidak jilbab. Tentu saja leher dan beberapa helai rambut saya bisa kelihatan. Teman Korea saya sedikit kaget ketika melihat rambut saya yang keluar. Dia memperbaikinya. “Rambutnya keluar nih. Awas nanti suami marah lo, kan muslim tak boleh begitu?”
Lama saya terdiam memikirkan kata-katanya. Saya tak menjelaskan apa-apa kepadanya soal aurat, jilbab atau Islam. Beberapa saat, setelah memperbaiki penampilan saya, dia nyeletuk lagi sambil tertawa, “Di Korea ndak apa-apa yaaa?”
Pernah juga dia bertanya agama saya dan cepat-cepat mengucapkan assalamualaikum begitu tahu saya Islam. Dan ketika saya bertandang ke rumahnya dan melihat lukisan yesus di dinding ruang tamu agak lama, dengan nada cemas dia bertanya,”Saya katolik, tidak apa-apakan?”
Saya jadi kepikiran juga,  seperti apa Islam yang ia kenal yaa??Atau pertanyaannya begini, seperti apa Islam orang Indonesia menurutnya??
Saya kuliah S1 sampai sepuluh tahun baru selesai di IAIN. Saya sangat susah untuk memakai rok panjang karena kegiatan saya yang mengharuskan saya banyak bergerak dan berpindah-pindah. Selain kuliah saya juga harus bekerja. Tetapi peraturan di kampus saya tak memberi toleransi buat pakaian. Perempuan harus memakai rok panjang, titik! Sangat sering saya mengganti pakaian saya di depan gerbang kampus sebelum memasuki kawasan kampus. Bahkan diawal-awal kuliah saya sering menangis memikirkan kenapa saya harus berhadapan dengan dunia pendidikan yang seperti itu. Di rumah saya tidak memakai jilbab dan banyak sekali anak-anak IAIN atau alumninya yang seperti saya. Tentu saja kami akan dibilang tidak bermoral dan tidak menjaga nama baik almamater. Tetapi sungguh tafsiran saya soal aurat bukan berarti memakai jilbab. Ayah saya seorang ulama ‘tradisional’. Dia tidak menganjurkan anak-anaknya untuk pakai jilbab dalam wujud seperti yang umum dipakai orang sekarang. Orang tua saya cuma mengajarkan untuk menutup kepala. Itupun tujuannya jelas agar rambut perempuan kami yang tebal dan rata-rata panjang tidak mudah menjadi kotor atau berdebu. Jadi semenjak kecil saya biasa melihat ibu atau kakak perempuan saya hanya pake selendang atau songkok. Dan saya kemudian juga begitu. Dengan begitu kami sama sekali tidak harus tersiksa kepanasan atau tertusuk-tusuk jarum di kepala. Suami saya bukan dari IAIN (semoga dia menikahi saya bukan karena agama IAIN saya hehe). Kawan-kawannya yang tahu saya dari kampus ‘islami’ itu sering saya lihat terkaget-kaget ketika ke rumah dan saya menemui mereka dengan tidak berjilbab. Bahkan ada mahasiswa, saya pikir mereka dua orang dengan aliran berbeda, sewaktu datang ke rumah, dan ketika saya tinggal ke belakang untuk mengambilkan minuman, saya dengar berdebat soal kenapa saya tak berjilbab. Saya mendiamkan saja dan mereka juga tak bertanya langsung. Bukan hanya kampus, masyarakat dan berlakunya perda pakaian muslimah di sumatera barat juga ikut membangun budaya konservatif ditengah masyarakat minangkabau, khususnya.
Kemaren saya pernah ngomong sama suami, “Kenapa sih jilbab atau pakaian kita yang diurusi pemerintah? Padahal urusan sampah saja di negara kita tidak terbereskan????” Tampaknya pemerintah lebih jijik melihat perempuan tak pake jilbab di banding melihat sampah yang bertebaran dan berbau busuk teronggok di sudut-sudut jalan yaaa

Anak Jalanan dan Subkultur: Sebuah Pemikiran Awal

Anak Jalanan dan Subkultur: Sebuah Pemikiran Awal

Oleh Kirik Ertanto

Dalam kesempatan ini, kita akan mempercakapkan gagasan mengenai subkultur. Seperti kita kenali bersama, tema ini salah satu yang diabaikan dalam perbincangan mengenai masyarakat Indonesia modern. Untuk itu sejak awal saya ingin berterus terang bahwa apa yang saja sajikan masih menyentuh bagian-bagian pinggirnya saja. Subjek yang saya pilih dalam percakapan kali ini adalah kehidupan sebagian kalangan anak muda yang berada di jalanan. Dalam kata lain, melihat kehidupan anak muda di jalan sebagai satu subkultur. Sebuah subkultur selalu hadir dalam ruang dan waktu tertentu, ia bukanlah satu gejala yang lahir begitu saja. Kehadirannya akan saling kait mengkait dengan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya. Untuk memudahkan kita memahami gagAsan mengenai subkultur anak muda jalanan, maka saya akan memulai dengan satu upaya membuat peta antara hubungan anak muda dan orang tua serta kultur dominan sebagai kerangkanya. Sekurang-kurangnya ada dua pihak yang -berkat dukungan modal yang melekat pada dirinya- berupaya mengontrol kehidupan kaum muda, yaitu negara dan industri berskala besar. Di Indonesia, pihak pertama yaitu negara berupaya mengontrol kehidupan anak muda melalui keluarga. Keluarga dijadikan agen oleh negara untuk sebagai saluran untuk melanggengkan kekuasaan. Melalui UU No. 10/1992 diambil satu keputusan yang menjadikan keluarga sebagai alat untuk mensukseskan pembangunan. Keluarga tidak hanya dipandang hanya memiliki fungsi reproduktif dan sosial melainkan juga fungsi ekonomi produktif. Pengambilan keputusan keluarga dijadikan alat untuk mensukseskan pembangunan pada gilirannya membawa perubahan pada posisi anak-anak da.n kaum muda dalam masyarakat. Anak-anak dan kaum muda dipandang sebagai satu aset nasional yang berharga. Oleh karena itu investasi untuk menghasilkan peningkatan modal manusia (human capital) harus sudah disiapkan sejak sedini mungkin. Dalam hal tugas orang dewasa adalah melakukan penyiapan-peyiapan agar seorang anak bisa melalui masa transisinya menuju dewasa. Akibatnya ada pemisahan yang jelas antara masa anak-anak dan masa muda dengan masa dewasa. Adalah tugas orang tua untuk memberikan pemenuhan gizi yang dibutuhkan, mengirim ke sekolah sebagai bagian dari penyiapan masa transisi. Saya Shiraishi (1995) yang banyak mengamati kehidupan keluasga dan masa kanak-kanak dalam masyarakat Indonesia mutakhir mengatakan bahwa implikasi lebih lanjut dari gagasan keluarga modern itu pada akhirnya menempatkan anak-anak sepenuhnya dibawah kontrol orang tua. Orang tua menjadi kuatir bila anaknya tidak mampu melewati masa transisi dengan baik, misalnya putus sekolah, dan akan terlempar menjadi kaum “TUNA” (tuna wisma, tuna susila dan tuna lainnya), kaum yang kehidupannya ada di jalanan. Kekuatiran ini bisa dilihat secara jelas dengan streotipe mengenai kehidupanjalanan sebagai kehidupan “liar”. Bukanlah satu hal yang mengada-ada bila kemudian para. orang tua lebih memilih untuk memperpanjang proteksi anak-anaknya untuk berada di dalam rumah sebab lingkungan di luar rumah dianggap sebagai”liar” dan mengancam masa depan anaknya. Pilihan untuk memperpanjang masa proteksi anak-anak inilah yang kemudian ditangkap sebagai peluang dagang oleh para pengusaha. Belakangan ini dengan mudah kita bisa melihat berbagai produk atau media untuk membantu penyiapan masa transisi anak-anak. Program televisi yang jelas menggunakan kata (televisi) PENDIDIKAN INDONESIA adalah salah satu contoh terbaiknya. Selain itu berbagai media cetak juga mengeluarkan berbagai produk bagaimana menyiapkan anak secara “baik dan benar” dalam rangka pengembangan sumber daya pembangunan. Para orang tua pada. gilirannya akan lebih mengacu pada berbagai media itu sendiri dibandingkan pada peristiwa sehari-hari yang dialami oleh anaknya. Cara membesarkan anak yang diimajinasikan oleh negara dan pemilik modal inilah yang kemudian menjadi wacana penguasa (master discourse) untuk anak-anak Indonesia. Ia digunakan sebagai alat untuk menilai kehidupan keseluruhan anak dan kaum muda di Indonesia. Hasilnya seperti yang ditunjukkan Murray (1994) adalah mitos kaum marjinal: yang dari sudut pandang orang luar menggambarkan orang-orang ini sebagai massa marjinal yang melimpah ruah jumlahnya dengan budaya kemiskinan dan sebagai lingkungan liar, kejam dan kotor … sumber pelacuran, kejahatan dan ketidakamanan. Murray tidaklah sendirian dalam memberikan adanya dikotomi rumah dan jalan. Studi Siegel (1986), Saya Shiraishi (1990) dan Jerat Budaya (1998) menunjukkan temuan yang sama. Studi Marquez ( 1998) mengenai kaum muda jalanan di Caracas menunjukkan bahwa anak muda itu tidak secara pasif menerima begitu saja pandangan negatif dari luar. Jalan raya bukanlah sekedar tempat untuk bertahan hidup. Bagi kaum muda tersebut jalanan juga arena untuk menciptakan satu organisasi sosial, akumulasi pengetahuan dan rumusan strategi untuk keberadaaan eksistensinya. Artinya ia juga berupaya melakukan penghindaran atau melawan pengontrolan dari pihak lain. Bertolak dari gambaran sekilas di atas, saya akan menempatkan percakapan mengenai subkultur anak jalanan di Indonesia dalam titik potong antara dikotomi rumah dan jalan di satu sisi dan orang tua (kaum dewasa) dengan anak muda di sisi lain. Fokus dari percakapan kali ini untuk sementara saya batasi bagaimana corak mode kehidupan yang ditampilkan oleh kaum muda yang besar di jalan yang kemudian bertumbuh menjadi subkultur. Meninggalkan Rumah, Menanggalkan Masa Lalu Sebuah sebuah kategori sosial, anak jalanan bukanlah satu kelompok yang homogen. Sekurang-kurangnya ia bisa dipilah ke dalam dua kelompok yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan diantaranya ditentukan berdasarkan kontak dengan keluarganya. Anak yang bekerja di jalan masih memiliki kontak dengan orang tua sedangkan anak yang hidup di jalan sudah putus hubungan dengan orang tua. Dalam tulisan ini, anak jalanan mengacu pada kategori anak yang hidup di jalan. Seorang anak jalanan yang sudah hampir dua puluh tahun hidup di jalan menuturkan pengalamannya pergi dari rumah. Katanya waktu kecil ia banyak ngeluyur dibanding sekolah, lebih banyak bermain dari pada belajar. Akibatnya, teman-temannya sudah naik ke kelas tiga ia masih saja duduk dibangku kelas satu. Buat sebagian anak pergi ke sekolah tidaklah selalu berarti pengalaman yang menyenangkan. Seorang anak lain N bila mengingat sekolah maka yang muncul adalah gurunya yang galak dan tubuhnya yang menjadi sasaran sabetan. Katanya: Waktu saya sekolah saya digebugin karena di sekolah saya goblog. Di bawa ke kantor karena.sering nonton Th lalu disuruh membaca di papan tulis tidak bisa. Di sabet badanku. Pak guru saya galak. Lalu saya keluar kelas tiga. Keadan murid-murid bermasalah seperti itu biasanya dilaporkan oleh guru kepada orang tua murid. Laporan itu bisa menjadi penyulut kemarahan orang tua. Seperti yang dituturkan H: dan pak guru saya sering datang menemui orang tua saya menceritakan keadaan saya. Saya dimarahi bapak tidak hanya dengan suara tetapi juga digebugi pakai sapu lidi sampai merah kaki saya Berbagai penyuluhan, berita TV dan radio secara bertubi-tubi telah mengajar para orang tua memlaui pembatinan bahwa anak yang baik adalah anak sekolahan. Karena itu wajar saja bila guru tidak mampu lagi mendidik anaknya, maka orang tualah yang akan meng(H)ajar anaknya. Hasilnya seperti H dan N lari meninggalkan rumah. Ketika pertama kali hadir di jalan, seorang anak menjadi anonim. Ia tidak mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga ada perasan kuatir bila orang lain mengetahui siapa dirinya. Tidaklah mengherankan bila strategi yang kemudian digunakan adalah dengan menganti nama. Hampir semua anak yang saya kenal mengganti nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa lalunya sekaligus masuk dalam masa kekiniannya. Anak-anak mulai memasuki dunia jalanan dengan nama barunya. Anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan menggganti dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama “modern” yang diambil dari bintang sinotren atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan anam Andi, Roy dan semacamnya. Seorang anak yang bernama Mohammad kemudian mengganti namanya menjadi Roni. Alasan yang diberikan karena Mohammad adalah nama nabi. Nama itu tidak cocok dengan kehidupan di jalan. karena yang dilakukan di jalan banyak tindakan haram. Proses penggantian sebutan itu dengan sendirinya menunjukkan bahwa ia bukan sekedar pergantian panggilan saja tetapi juga sebagai sarana menanggalkan masa lalunya. Artinya ia dalah bagian dari proses untuk memasuki satu dunia (tafsir) baru. Sebuah kehidupan yang merupakan konstruksi dari pengalaman sehari-hari di jalan. Corak Mode Kehidupan Menolak Tetap (Anak) Kecil Anak jalanan menggunakan tubuhnya sendiri sebagai sarana. untuk ekspresi diri sekaligus sub-versi. Pada tingkat permukaan ditunjukkan perbedaan-perbedaan oleh mereka sekaligus menegaskan pertentangan dengan negara dan masyarakat sekitarnya (lihat Hebdige, 1979). Tubuh dijadikan sumber produksi dan aktivitas komunikasi dan menjadi lokasi pengetahuan yang krusial bagi komunitas dan hal ini membantu tewrjadinya produksi makna bagi kelompoknya. Melalui pencarian dan tingkah laku yang berbeda itu secara sengaja anak jalanan menolak dan mengejutkan kultur dominannya dengan mensub-versi nilai-nilai utamanya. Ketika mulai tumbuh lebih besar, menampilkan nilai-nilai kejantanan merupakan aspek yang vital bagi anak-anak jalanan. Mereka secara teratur mulai berpartisipasi menyusun konstruksi kejantanan dengan mendiskusikan berbagai peran yang dilakukan oleh anak lain serta mengomentari penampilarmya. Meski secara sosial mereka dikategorikan sebagai anak (kecil), hampir semuanya mengadopsi bentuk-bentuk kedewasaan sebagai tanda pembangkanangan dari harapan-harapan yang ditentukan oleh masyarakat. Mereka memainkan peran yang selama ini dijalankan oleh kaum dewasa yang ada di sekitarnya, menenggak minuman keras, ngepil, judi serta menggemari free sex. Kebiasaan-kebiasaan yang dianggap tidak cocok untuk dilakukan oleh anak justru dianggap mampu membuat mereka merasa tumbuh dewasa dan menjadi jantan. Judi, misalnya, merupakan permainan yang populer, meski dianggap ilegal dan dimainkan di tempat-tempat tersembunyi. Rata-rata mereka mengaku menikmati permainan judi karena melibatkan resiko dalam pertaruhan, ketrampilan serta konsentrasi dan bila memenangkan permainan, ada rasa bangga menempati posisi puncak dari hasil permainan. Selain itu juga mendapatkan uang yang relatif banyak. Seorang dewasa yang sering memperhatikan dan bergaul dengan anak-anak jalanan mengatakan bahwa jika dilarang untuk melakukan tindakan tertentu, maka anak-anak jalanan itu seperti disuruh. Apa pun akan dilakukan untuk menentangnya. Katanya, itu bagian dari indentitas pembangkangan. Atau dalam kata lain menolak dianggap (anak) kecil terus. Gaya Pakaian dan Dandanan Tubuh Satu kali, H ( 12 tahun) mendapatkan uang cukup banyak dari hasil nyemirnya. Uang itu dibelikan kaos dan celana. jeans. Dengan pakaian baru yang bersih itu kemudian pergi menyemir. Ternyata dengan pakaian bersih semacam itu, tak banyak orang yang mau menyemirkan sepatunya. Berbeda dengan ketika ia memakai pakaian kotor, justru banyak orang yang mau menyemirkan sepatunya. Hal ini menunjukkan adanya satu pertentangan, di satu sisi masyarakat umum menginginkan mereka tampil secara “bersih”, namun bila tampil dengan cara semacam ini maka ia tidak mendapatkan uang yang cukup. Berbeda dengan bila ia menggunakan pakaian kumal, orang tidak menyukai tetapi menghasilkan uang yang cukup. Situasi semacam itu menyebabkan anak-anak kemudian menggembangkan satu trend cara berpakaian yang cukup khas. Mereka kemudian lebih banyak mengadopsi cara berpakaian dari pengamen dewasa, turis asing atau dari film atau majalah yang dilihat. Salah satu yang cukup populer adalah gaya rasta yang disimbolkan melalui warna merah kuning dan biro dengan simbol daun ganja. Dan simbol itu ditampilkan di tato, di pakaian dan lainnya. Kata mereka rasta cocok dengan anak jalanan. Karena jalanan juga menciptakan orang kaya Bob Marley. Nongkrong di jalan, menghisap ganja, main gitar. Anak jalanan pengin seperti dia. Bukanlah satu hal mengherankan beberapa diantara mereka juga menggunakan model rambut dreadlocks. Pilihan lain adalah memanjangkan rambutnya. Di Indonesia, rambut panjang merupakan kebalikan dari model rambut para orang tua. Tidak banyak orang tua yang berambut gondrong. Gondrong merupakan citra anak muda. Selain itu dari pihak kemanan gondrong sering diasumsikan sebagai preman. Bila tidak gondrong, sebagian diantaranya justru memilih melicin tandaskan rambutnya. Artinya dari pilihan atas model rambutnya mereka tidak pernah sama dengan yang berlaku dalam masyarakat umum, potongan rambut yang rapi. Dalam kata lain untuk menunjukkan bahwa merekalah yang mengontrol urusan rambut. Selain rambut, tatto merupakan satu bentuk lain dari cara menampilkan diri. Sebagian anak melawankan tubuh yang bertatto dengan tubuh yang “bersih”. Meski dikalangan umum memiliki tatto disamakan dengan preman, namun dikalangan anak jalanan ia memiliki makna yang berbeda. Beberapa anak mengatakan bahwa tatto merupakan penanda dari “show of force” sekaligus lambang “keras” dan jantan. Sebagian dari mereka membuat tatto sebagai satu tanda untuk menyimpan ingatan tertentu. Beberapa anak membua,t tatto sebagai satu inggatan atas peristiwa perginya seorang volunter ke negara asalnya dan juga peristiwa lain. Dalam beberapa hal bisa dikatakan bahwa kecenderungan berpakaian atau mentato tubuhnya juga menindik tubuhnya untuk dipasangi anting-anting baik di telingga, alis mata, pusar atau tempat lain tidak bisa dipisahkan dengan relasinya dengan cara penampilan yang normatif. Alternatif yang digunakan oleh anak jalanan tidak bisa tidak berada dalam dikhotomi bersih dan kumal. Menjadi “bersih” bisa jadi justru akan mengancam survival mereka di jalan. Artinya masyarakat dan anak-anak jalanan itu sendiri saling menjaga dengan tegas batas-batas yang mereka inginkan. (Penyalah)Guna(an) Obat dan Minuman Alkohol Menenggak minuman keras dan pil adalah satu kebiasaan yang dilakukan selama di jalan. Alasan yang diberikan adalah untuk melupakan masalah. Beberapa studi mengenai anak jalanan secara gamblang menunjukkan berbagai tekanan yang dialami oleh anak jalanan. Secara ekonomi mereka harus bekerja dalam jam kerja yang cukup panjang, secara sosial ia diletakkan sebagai sampah masyarakat, secara hukum keberadaannya melanggar pasal 505 KUHP. Bukanlah satu hal yang mengadaada bila mereka merasa tidak pernah merasa (ny)aman dalam kehidupan sehariharinya. Tindakan-tindakan yang dipilih ini akan membawa anak-anak pada masalah hukum, karena semua tindakan ini dianggap melanggar hukum. T ( 14) memberikan alasan bahwa sebelum bekerja ia mabuk dulu untuk menghilangkan rasa malu. Karena sebetulnya ia gengsi kalau harus jadi pengamen. Dengan demikian selain sebagai strategi ekonomi, mabuk akhirnya menimbulkan sikap cuek (tidak peduli) dengan aturan hukum. Secara umum, tindakan semacam ini sering dikatakan sebagai penyalah gunaan obat. Namun demikian, bila di tilik dari sisi lain akan terlihat sebaliknya. Dalam masyarakat modern, dengan mudah dikenali bahwa salah satu jalan keluar untuk mengatasi situasi-situasi yang menekan individu adalah dengan penciptaan obat-obatan. Dengan demikian anak-anak jalanan itu sungguh melakukan satu cara yang sudah disediakan oleh sistem dalam masyarakatnya. Dalam hal ini ia betul-betul memanfaatkan guna obat untuk mengatasi berbagai tekanan yang menimbulkan ketegangan dalam diri. Alat untuk mencapai satu kondisi nyaman. Musik Anak-anak juga menggunakan media musik untuk meciptakan ruang bagi dirinya untuk bersuara. Musik digunakan sebagai alat untuk memberdayakan dirinya. Selain untuk mencari makan, bermain musik juga menjadi alat untuk membangun solidaritas. Dalam kesempatan-kesempatan tertentu mereka memainkan musik secara bersama-sama. Dalam kesempatan semacam inilah mereka sering menyuarakan pandangan-pandangan mereka terhadap masyarakat seperti yang tampak dalam syair yang dibuat oleh Dd (14) dan Dw (15): SAKSI MATA Suara letusan samar-samar terdengar Ditengah malam yang pekat Sesosok tubuh penuh tato Terbujur kaku di lorong gelapnya kota Reff: Sejenak jiwanya berteriak Untuk ungkapkan rasa yang terasa Dia coba bicara kerryataan Banyak yang melihat Tak ada saksi mata… Garis kuning di lengan baju pun puas Nanyikan lagu kekuasaan dengan bangga dia melangkah pergi sambil berharap pangkatnya naik lagi Reff: Sejenak jiwanya berteriak Untuk ungkapkan rasa yang terasa Dia coba bicara keadilan Dengan pucuk pistol … Menempel di keningnya. Secara gamblang syair tersebut merupakan satu kritik terhadap masyarakat yang mengalami rabun ayam terhadap peristiwa yang ada di sekelilingnya. Anak-anak ini menjadi saksi mata atas keseluruhan sisitem masyarakat yang berjalan. Dan untuk bicara seperti itu pun ia sadar ada pistol yang menempel di keningnya, dianggap mengancam atau malah tidak didengar sama sekali. Kata-kata Akhir Kehidupan anak jalanan di mulai dengan menanggalkan masa lalunya. Keberadaannya di jalan langsung akan menghadapkan anak-anak ini pelanggaran hukum pasal 505 KUHP sekaligus akan mendapat stempel sampah masyarakat. Dengan demikian kita layak menempatkan tindakan-tindakan yang dipilih anak-anak sebagai satu respon aktif terhadap peminggiran atas dirinya. Seperti yang secara sangat kasar diapaprkan di atas tindakan-tindakan tersebut merupakan kombinasi dari kebutuhan survival, ketetapan hati untuk menentang konformitas kultur dominan, dorongan untuk mendapatkan ke(ny)amanan dan untuk mencapai tujuan-tujuan memperkuat kesetiaan dalam kelompok. Salah satu strategi yang dipilih adalah cuek dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Dengan menjadi cuek, anak-anak ini berupaya menahan untuk menahan penyingkiran-penyingkran dari dunia sosial sekaligus mengalih ubahkan keberadaannya melalui penciptaan-penciptaan makna. yang spesifik. Corak moda kehidupan anak jalanan terutama adalah (re)aksi yang sesungguhnya tidak memiliki kekuatan besar, namun dari posisi di pinggiran itu tetap berupaya mengekspresikan dan menciptakan makna bagi dirinya. Dengan menyimpang dari kultur dominannya anak-anak jalanan dengan sekuat tenaganya mempertahankan kontrol atas dirinya sendiri dengan ekspresi “kebebasan” dan simbol kreatifitas sekaligus menjadi ajang dari pertandingan: pemberdayaan atau penaklukan. Pendek kata, bila bagi banyak pihak menjalani kehidupan di jalan diietakkan sebagai “masalah”, maka bagi anak-anak muda itu memilih kehidupan jalanan sebagai satu “solusi”. Paradoks semacam ini memang akan tetap memposisikan anak jalanan di pinggiran, tetapi ia sekaligus juga sumber kekuatan terciptanya satu sub-kultur anak muda perkotaan. Artikel ini dipresentasikan pada Diskusi dan Pemutaran Video “Subkultur Remaja: Underground, Skuter, PlayStation”, KUNCI Cultural Studies Center- Lembaga Indonesia Perancis, Yogyakarta, 5 Mei 2000. ~ oleh rinangxu di/pada 12 Maret 2007

Missionaris

Suatu pagi, saat kami berkumpul dengan keluarga tiba-tiba terdengar suara bel. Anakku dengan sigap menekan tombol monitor. Dia memang paling senang kalau ada tamu yang datang. Di depan pintu tampak berdiri seorang lelaki paroh baya dengan jubah hitam dan sebuah al-kitab di tangannya. Mungkin dia pastor.

Kami bergegas ke pintu, sekedar ingin tahu, mau apa pastor tersebut. Ternyata dia hanya ingin menyapa dan mendoakan kesejahteraan untuk keluarga kami.

Saya tersenyum dengan kejadian itu. beberapa waktu lalu saya terbaca sebuah berita tentang aktifitas misionaris korea selatan. Begini bunyinya:

Misionaris Kristen di Korea Selatan tumbuh dengan cepat dan menjadi negara kedua terbesar di dunia yang paling banyak sumber daya manusianya untuk kegiatan pemurtadan, setelah AS dan Inggris. Dalam kurun waktu dua dekade ini, sekitar 12.000 orang misionaris kini bertugas di luar negeri,� tulis New York Times.

Dalam melaksanakan misinya, para misionaris asal Korea Selatan ini menggunakan bahasa Inggris atau bahasa negara tempat mereka beroperasi. Begitu agresifnya kegiatan pemurtadan yang mereka lakukan, sampai seorang misionaris mengungkapkan pepatah yang dikutip New York Times. Bunyinya,�Kalau ada orang Korea datang ke suatu tempat maka ia akan mendirikan gereja, orang China akan membuka restoran dan orang Jepang akan membangun pabrik.�

Lalu saya memandang anak-anak saya dan berdoa dalam hati: Semoga mereka menjadi hamba Allah yang benar…….

Menggagas Pendidikan ala Marx

Menggagas Pendidikan ala Marx
Saturday, 24 January 2009
SELAMA ini,Karl Marx lebih dikenal sebagai pemikir ekonomi- politik dari pada pemikir pendidikan. Buktinya,sampai saat ini, jarang dijumpai diskursus yang menyandingkan Marx dengan dunia pendidikan.

Padahal, sebagaimana diungkap dalam buku Metode Pendidikan Marxis- Sosialis ini, Marx bukan hanya pemikir ekonomi-politik, tapi juga seorang pemikir pendidikan terkemuka.Bahkan,menurut Nurani Soyomukti, penulis buku ini,Marx adalah pelopor dan peletak dasar teori pendidikan kritis dan pembebasan, bukan Paulo Freire sebagaimana diyakini banyak kalangan.

Dalam konteks pendidikan, Marx menyingkapkan bahwa basis dari gerak sejarah sistem pendidikan dunia ditentukan oleh kapital (ekonomi). Teori ini disebut dengan determinisme ekonomi. Tampaknya,ramalan Marx itu benar, khususnya di Indonesia. Buktinya, regulasi kebijakan pendidikan pemerintah, dalam hal ini Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), tidak lain me-rupakan penjelmaan perselingkuhan antara dunia pendidikan dengan kepentingan kapital.

UU BHP membuka akses bagi praktek kapitalisme di bidang pendidikan. Lembaga pendidikan saat ini tidak lagi menjadi media transformasi nilai dan instrumen memanusiakan manusia, melainkan menjadi lahan basah bagi para pengelola pendidikan untuk mengeruk keuntungan finansial.

Status birokrat kampus -Rektor dan para stafnya- tidak ubahnya investor yang hanya memikirkan bagaimana kampus bias mendapatkan laba sebesarbesarnya dari peserta didik. Institusi pendidikan saat ini tidak jauh beda dengan pasar. Bedanya,kalau pasar menjual bahan sembako domestik dan kebutuhan rumah tangga yang lain, maka perguruan tinggi menjual jasa pendidikan.

Mulai dari tenaga pengajar (dosen), mata kuliah (SKS), sampai fasilitas-fasilitas kampus yang seper canggih.Dalam kondisi seperti ini, lembaga pendidikan layaknya korporasi yang hanya memikirkan profit. Tidak heran,kalau makin hari biaya lembagapendidikankian melonjak.

Di era modern, mustahil menemukan biaya pendidikan yang bisa dijangkau orang menengah ke bawah. Semakin canggih dan lengkap fasilitas kampus, semakin besar uang yang mesti dikeluarkan peserta didik. Secara historis, bibit kapitalisme dan pragmatisme pendidikan di Indonesia sudah menyeruak pada zaman Soeharto.

Ketika itu, yang menjadi panglima adalah pembangunan.Pertumbuhan ekonomi pada rezim Orde Baru dikejar habis-habisan tanpa memedulikan aspek kemanusiaan. Tak pelak, lembaga pendidikan sebagai media memanusiakan manusia dan penjaga gawang terakhir atas munculnya kaum-kaum terdidik dan bermoral terpasung.

Munculnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), baik yang berkonsentrasi di dunia mesin, listrik, arsitektur, administrasi perkantoran,akuntansi, kesekretariatan maupun berbagai bidang lain,merupakan pemenuhan atas nafsu kapitalisme. Kehadiran SMK diharapkan meluluskan peserta didik yang siap pakai dan sesuai dengan kebutuhan praktis di bidang kerja infrastruktur pembangunan.

Sekolah kejuruan menjadi idaman dan pilihan para orangtua yang ingin yang ingin melihat anaknya cepat mendapat kerja. Penekanan keterampilan teknis seperti ini menyebabkan pendidikan terjerumus dalam pragmatisme. Pragmatisme pendidikan adalah malapetaka besar bagi masa depan kemanusiaan.

Sebab, pragmatisme pendidikan akan melahirkan manusiamanusia yang tidak peka terhadapbobroknya realitaskebangsaan. Pragmatisme pendidikan hanya mencetak generasi yang ingin cepat mendapatkan gelar sarjanadanmemperolehprofesi yang bergengsi.

Buku ini berusaha menggagas dan menjabarkan metode pendidikan berbasis Marxis- Sosialis yang menjadi counterpart atas pendidikan kapitalisme yang selama ini menjadi ideologi sistem pendidikan internasional. Ideologi pendidikan yang digagas Marx adalah bentuk gugatan atas merasuknya budaya kapitalisme dan pragmatisme dalam tubuh pendidikan.

Dalam pendidikan berbasis Marxis-Sosialis, tujuan (ideologi) pendidikan adalah membangun karakter (character building) manusia yang tercerahkan; suatu kondisi mental yang dibutuhkan untuk membangun suatu masyarakat yang berkarakter progresif, egaliter, demokratis, berkeadilan dan berpihak terhadap kaum-kaum tertindas (the oppressed).

Menurut Marx,pendidikan bukan lahan basah untuk merenggut keuntungan, melainkan sebagai instrumen membebaskan manusia dari belenggu dehumanisasi serta menempatkan manusia dalam esensi dan martabat kemanusiaannya yang sejati.

Marx mengidealkan terciptanya pendidikan kritis (critical pedagogy), pendidikan radikal(radical education) dan pendidikan revolusioner (revolutionary education) yang pada gilirannya mampumencetakmanusia yang betul-betul mau memperjuangkan kaum-kaum miskin. Pendidikan yang terjebak pada pragmatisme untuk kepentingan kapitalisme merupakan eksploitasi atas esensi terbentuknya lembaga pendidikan.

Bagi Marx, pendidikan bertujuan menciptakan kesadaran kritis,bukan pengetahuan dan keterampilan teknis yang mendukung proyek kapitalisme. Apa yang diidealkan Marx itu sangat kontras dengan karakter objektif para pelajar bangsa ini.Tidak bisa dibantah, 75 % orientasi pelajar menuntut ilmu adalah untuk mendapatkan kerja bergengsi (profesi),menjadi tokoh populer, menjadi orang kaya, dan untuk mengangkat status sosialnya. (*)

Abdul Khalid Boyan,
Peneliti pada Center for Social and Democracy Studies (CSDS)

Asia sebagai Produsen Kebudayaan

By NURAINI JULIASTUTI

Perkenalan pertama saya dengan drama seri Korea dimulai dari seorang teman yang memperkenalkan saya dengan serial Full House (FH). Dan setelah perkenalan pertama itu, efek pertama yang terjadi adalah menonton secara maraton drama seri itu sampai habis (seluruhnya 13 episode) dalam waktu dua malam.

Masih segar diingatan ketika tahun 2002, serial Meteor Garden (MG) menjadi drama Taiwan yang paling tenar di negeri ini. Setelah itu mulailah banjir drama Asia di televisi kita. Meskipun jauh sebelumnya kita sudah mengenal era kejayaan film Hongkong dengan genre film laga/kungfu lewat televisi, video atau bioskop. Ingatlah jaman Bruce Lee dan Jackie Chan. Selain Hongkong, film-film India juga tidak pernah absen, dari dulu sampai kini selalu hadir dalam jagat dunia hiburan di Indonesia, dan di bagian-bagian dunia yang lain.

Tapi MG bisa dikatakan membawa tonggak genre baru drama Asia dalam dunia tontonan di Indonesia. MG dianggap penting karena memunculkan diskursus tentang ‘Asia’, dan bisa mendorong masyarakat untuk berpartisipasi meniru ke-Asia-an seperti yang muncul dalam serial tersebut dalam kehidupan sehari-hari (katakanlah dalam gaya rambut, gaya berpakaian, riasan wajah, dsb).

Melihat lebih luas, demam itu bukan hanya milik kita. Tapi demam yang sudah melanda seluruh wilayah Asia lainnya. Drama seri Jepang menjadi idola komunitas Cina yang tinggal di Hongkong, Taiwan, Singapura, Malaysia maupun negara-negara barat lain seperti Australia, Inggris dan Kanada (Hu, 2005), drama seri produksi Cina yang dikonsumsi komunitas Cina di seantero dunia (Sun, 2001), drama seri asal Jepang, Taiwan dan Korea yang mempunyai pengaruh luas pada penonton Indonesia dan Malaysia. Tipe drama seri utama yang digemari para penonton tersebut diatas adalah drama seri yang berisi cerita tentang cinta romantis, persahabatan, perjuangan meraih cita-cita dari kaum muda yang tinggal di metropolis Asia (Seoul, Tokyo, Beijing, dsb).

Globalisasi tidak hanya membuka pintu bagi penonton untuk mengkonsumsi Barat, tapi juga membuka kemungkinan untuk mengkonsumsi Asia. Ide dan gagasan tentang modernitas dan kemajuan secara massif diperkenalkan kepada publik lewat berbagai bentuk media massa yang semuanya datang dari Barat. Fenomena baru ini menunjukkan pengalaman atas misalnya bagaimana modernitas dan ide kemajuan itu dirasakan sendiri oleh orang Asia, baik melalui cerita orang Asia yang tinggal di negeri-negeri Barat atau mereka yang tinggal di negara-negara Asia yang lebih maju. Asia yang mengkonsumsi Asia sendiri. Lebih jauh, Asia adalah juga pengirim pesan kebudayaan (a sending culture), yang dalam kasus ini lebih diperhatikan daripada Amerika Serikat atau negara Barat lain (Wilson, 2001).

Esai ini dibuat untuk menelusuri modus sirkulasi atau persebaran film-film Asia di Indonesia. Studi ini diharapkan untuk bisa memberikan kerangka kongkret tentang bagaimana film Asia itu disebarkan, bagaimana ide tentang ‘Asia’ itu dibangun, diakui dan diikuti—sebagai kontestasi atau perbandingan dari ‘Barat’, serta bagaimana  akhirnya ke-Asia-an itu dikomodifikasi. Selanjutnya studi ini bermaksud untuk memberi sumbagan analisa atas bagaimana sebenarnya praktek mengkonsumsi atau mengunyah Asia itu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Budaya Bajakan dan Konsekwensi Teknologis

Pada umumnya akses film drama seri Asia di Indonesia dimulai dari siaran di TV-TV swasta. Indosiar sampai saat ini masih merupakan televisi swasta yang merupakan pionir penyiaran drama seri Asia.

Setelah itu barulah penyebarannya dimulai di lapak-lapak VCD/DVD bajakan atau di rental-rental VCD/DVD (asli dan bajakan). Pengamatan terakhir di Video Eazy (sebuah rental VCD/DVD orisinal yang berlokasi di Jalan Brigjend Katamso, Yogyakarta) menunjukkan bahwa saat ini terdapat 150 judul film Asia tersedia di rak. Judul dan jumlah antar rental dan lapak bisa jadi saling bervariasi.

Faktor ketidaksabaran menunggu siaran di televisi yang harus memakan waktu lama karena terpotong jeda iklan membuat banyak penonton memakai jalur potong kompas dengan membeli langsung DVD atau 1 pak koleksi lengkap satu seri drama di lapak VCD/DVD. Selain faktor kecepatan akses, VCD/DVD bajakan juga jauh lebih murah tentu saja jika dibandingkan dengan VCD/DVD asli.

Di Yogyakarta, lapak-lapak penjualan VCD/DVD bajakan ini mengelompok di Jalan Mataram. Beberapa lapak menempati tempat permanen, dan banyak lagi yang membangun tenda-tenda non-permanen di emperan depan toko. Sementara rental-rental VCD/DVD biasanya berlokasi menyatu dengan pondokan para mahasiswa, pemukiman penduduk, atau di pinggir jalan berdampingan dengan bisnis-bisnis yang lain. Di Jakarta, Mal Ambassador dan Ratu Plaza dianggap sebagai pusat lokasi penjualan VCD/DVD bajakan.

Arena penjualan VCD/DVD bajakan atau rental VCD/DVD (baik yang bajakan maupun yang bukan) akhirnya berkembang menjadi salah satu sumber pengetahuan film-film asing bermutu. Karena darinya kita bisa mendapatkan film-film kelas festival film internasional, yang tidak diputar di bioskop-bioskop mapan seperti Studio 21; dan juga gudang untuk mendapatkan film-film Asia yang juga pasti tidak diputar di bioskop dan tidak bisa didapatkan di rental VCD/DVD. Pengetahuan tentang eksistensi aneka festival film internasional kadang juga diawali dari tempat ini: Bavarian Film Award, London Film Festival, Bambi Award, Gerardmer Film Festival, Sundance Film Festival, Cannes Film Festival, Toronto Film Critics Association Award, Golden Globe, Tribeca Film Festival, Heartland Film Festival, Chicago Film Festival, Unicef Award, Slamdance Film Festival, SXSW South by Southwest Film Festival, dsb.

Keikutsertaan suatu film dalam suatu festival film internasional—entah sebagai salah satu nominator atau pemenang festival film—biasanya ditandai dengan penulisan nama-nama festival, berikut prestasi yang diraih, lengkap dengan lambang festival film yang biasanya berupa daun palem atau dua bulir biji gandum. Daun palem dan bulir biji gandum di sampul depan film akhirnya sering dijadikan tanda penentu untuk memilih suatu DVD yang akan dibeli.

Kehadiran budaya menonton VCD/DVD bajakan ini lantas membuahkan pilihan perangkat teknologi yang juga berbeda. Mesin pemutar VCD/DVD produksi Cina konon bisa dipakai untuk memutar semua jenis VCD/DVD (baik asli maupun bajakan) sehingga banyak kalangan memilih untuk membeli pemutar VCD/DVD produksi Cina supaya bisa memutar koleksi film yang dibelinya di lapak-lapak bajakan. Juga pemutar VCD/DVD merek Cina ini juga dianggap lebih bisa diandalkan daripada pemutar VCD/DVD yang ada di komputer. Terdapat sandi-sandi tertentu dalam setiap VCD/DVD yang membuatnya tidak bisa diputar di segala pemutar VCD/DVD. Penjelasan yang lebih memuaskan soal rasionalisasi teknologi dibalik hubungan antara VCD/DVD bajakan dengan pemutar VCD/DVD merek tertentu menuntut penelitian sosial teknologis lebih lanjut.

Membangun Pengetahuan Lokal Asia

Derasnya dominasi lautan informasi dari media massa tentang film-film Hollywood atau film-film Barat yang lain membuat kita merasa lebih mengenal nama-nama sutradara, pemain film atau judul film Hollywood/Barat ketimbang para pelaku dunia film Asia. Popularitas serial MG diikuti oleh penerbitan majalah-majalah hiburan yang berfokus pada bintang-bintang film Asia yang akhirnya juga dipakai untuk melacak jejak riwayat hidup atau karir para bintang film Asia tertentu, atau mencari film-film lain yang juga dibintangi oleh seorang aktris/aktor Asia tertentu.

Praktek mengkonsumsi film Asia bisa diibaratkan seperti petualangan pengetahuan. Medan petualangan itu kita hadapi misalnya saat sedang menghadapi deretan ratusan bahkan ribuan keping VCD/DVD di sebuah lapak. Seorang penjual VCD/DVD biasanya akan mengklasifikasikan barang-barang dagangannya dalam kelompok-kelompok seperti: kartun, horor, aksi, perang, klasik, independen/Eropa, Asia, film baru, new release, serial film Korea, serial film televisi, dsb. Tidak ada patokan khusus dalam klasifikasi ini; seorang penjual bisa menerapkan sistem klasifikasi menurut dirinya sendiri.

Dalam bagian yang bertuliskan ‘film Asia’ misalnya bisa kita jumpai aneka film Hongkong, Korea, Jepang, Thailand, Filipina, atau Singapura. Terdapat kurang lebih 250 judul film Asia tersedia di setiap lapak penjualan. Dan semuanya mempunyai komposisi negara dan judul-judul film Asia yang sangat berubah-ubah, sulit diduga, tergantung dari jalur distribusi para pemasok VCD/DVD bajakan ini, dan menimbulkan kejutan-kejutan tersendiri bagi masyarakat konsumen film.

Teman atau kolega seringkali berperan penting untuk memberikan petunjuk tentang film-film Asia lain, dengan bintang-bintang Asia tertentu, yang pernah mereka tonton, dan mungkin suatu saat hal itu akan kita jadikan sebagai panduan untuk memilih VCD/DVD di suatu lapak atau rental. Pengalaman pribadi: pertama kali kenal nama Kim Rae Won sebagai pemain dalam film lepas “My Little Bride”, lalu meneluri lewat internet dan menemukan bahwa Kim Rae Won juga bermain dalam serial “Cat on the Roof” dan “Love Story in Harvard”.

Atau kita bisa juga memilih suatu film Asia berdasarkan keyakinan atas deskripsi film/serial yang tertulis di bagian belakang sampul film; bisa juga kita akan mencari film berdasar pengalaman menonton atau pengetahuan atas film Asia dari media-media lain yang kita konsumsi. Faktor keberuntungan atau untung-untungan dalam mendapatkan film yang baik juga sangat tinggi mengingat seringkali deskripsi film kadang masih tertulis dalam bahasa Jepang, Cina atau Korea. Bahkan sampul dan judul film pun kadang berbeda dari versi aslinya. Film serial Korea misalnya mempunyai judul asli dalam bahasa Korea, dan judul dalam bahasa Inggris untuk pasar internasional. Pengetahuan baru dari film baru yang kita tonton kemudian bisa disalurkan kepada orang lain, dan akhirnya membentuk pengetahuan lokal atas Asia dan membentuk komunitas tersendiri. Di Indonesia, komunitas penggemar film Asia ini biasanya juga membentuk forum komunikasi sendiri dalam mailing list yang membahas tentang suatu film tertentu.

Dalam studinya atas para fans film Jepang, Kelly Hu memberikan ilustrasi menarik tentang bagaimana komunitas masyarakat Cina penggemar drama seri Jepang yang tinggal di Taiwan, Hongkong, dan komunitas Cina yang tinggal di Australia, Kanada, Amerika, Singapura atau Malaysia, saling berkomunikasi melalui website http://www.dorama.info atau http://www.newsgroup.com.hk untuk mendiskusikan jalan-jalan alternatif untuk mengkonsumsi drama seri Jepang. Beberapa topik pembahasan yang paling sering dibahas adalah pembagian pengetahuan mengenai ‘terjemahan’ dari bahasa Jepang ke bahasa Cina. Para anggota secara sukarela melakukan ‘self subtitling’, dan kemudian memasukkannya ke dalam mailing list supaya bisa diakses oleh para anggota yang lain. Dalam proses ini, terjadilah ruang saling koreksi dan saling bantu dalam penerjemahan; juga terjadi proses pemberian emosi dalam teks-teks dialog yang diterjemahkan. Pada akhirnya kedua website ini berperan penting sebagai ruang ekspresif subkultur penggemar drama Jepang, dan menyatukan komunitas Cina lewat konsumsi dan sirkulasi budaya populer.

Penutup sementara

Sementara itu, di kepala saya terdapat bayangan kelompok penonton keturunan Cina yang ramai-ramai menonton film Gie ketika pertama kali diputar di bioskop Mataram di Yogyakarta tahun 2005 lalu. Bagi para penonton muda yang kebanyakan lahir pada 1970an atau 1980an, Soe Hok Gie, tokoh gerakan mahasiswa Indonesia tahun 1960an itu biasanya dikenal lewat penerbitan buku hariannya “Catatan Harian Seorang Demonstran”.  Dan menarik untuk menyaksikan ‘perasaan keterkaitan’ yang seolah hadir mendorong para generasi muda Cina-Indonesia ini untuk menonton Gie; perasaan ingin diidentikkan dengan Soe Hok Gie yang muda, mahasiswa, kritis, pintar, dan sama-sama keturunan Cina-Indonesia.

Contoh yang lain adalah kalangan anak muda keturunan India di Malaysia yang menggeluti bidang musik rap. Too Phat adalah kelompok musik rap yang tidak hanya terkenal di Malaysia, tapi juga di Indonesia dan negara-negara tetangga yang lain. Kita juga bisa menandai asal keterkaitan disana. Musik rap sebagai bagian dari budaya kulit hitam; dan warna kulit yang mempunyai kemiripan antara orang India dan Afro-Amerika. Atau para remaja etnis Roma (gipsi) yang menghuni kota-kota di negara Eropa Timur seperti Budapest yang juga rajin mengkonsumsi musik rap atau hip hop, dan berdandan seperti layaknya para musisi rap keturunan Afro-Amerika.

Apa yang sebenarnya dicari lewat konsumsi film-film Asia ini? Kesamaan-kesamaankah? Lewat studi audiens film Asia bisa diungkap bagaimana sebenarnya sekelompok remaja memaknai serial MG atau serial Asia yang lain dalam kehidupan sehari-harinya (Yuli Andari Merdikaningtyas & Alia Swastika (2003); Yuli Andari Merdikaningtyas (2007); Nuraini Juliastuti (2004)), atau bagaimana penonton perempuan memaknai serial Jewel in the Palace (Dyna Herlina (2007)).

Meski riset etnografis seperti yang dilakukan oleh Merdikaningtyas dan Herlyna ini bisa menjelaskan keragaman bentuk komunikasi yang terjadi antara media dan audiens (bahkan menurut Lull (1998): berpotensi menggali perilaku orang terhadap media yang terlalu beragam!), tetapi saya sendiri merasa sampai pada titik tertentu model riset macam ini kurang memuaskan untuk menjawab pertanyaan lanjutan semacam apakah kemudian perbedaan esensial antara konsumsi film Asia dan Barat, atau atas serial Amerika Latin misalnya. Apakah Asia dikonsumsi sebagai tambahan atau pilihan alternatif kode-kode budaya, diluar Barat yang sebelumnya lebih mendominasi dunia hiburan dan karena itu lebih diakrabi?

Pada tahun 1990, Arjun Appadurai membuat esai yang berusaha menjelaskan faktor-faktor pembentuk keanekaragaman budaya kontemporer yaitu: ethnoscapes, technoscapes, finanscapes, mediascapes, ideoscapes. Appadurai menjelaskan bahwa mediascapes mengacu pada perangkat keras media massa yang mekanis dan elektronik dan citra-citra yang mereka hasilkan, dan digunakan oleh audiens untuk membangun ‘cerita-cerita yang lain’.

Argumentasi ini saya kira bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena orang Asia yang mengkonsumsi Asia sendiri; bahwa ia adalah fenomena dari masyarakat yang selalu penuh hasrat untuk mencari imajinasi-imajinasi dirinya yang berbeda-beda, tetapi untuk konteks Indonesia, ia juga bagian dari politik kebudayaan dan strategi penguasaan pasar dari negara-negara Asia yang lebih mapan yang dijalankan secara sistematis. Pada 2001, dua atau tiga tahun sebelum film Korea meledak di Indonesia, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta mendorong para mahasiswa untuk belajar bahasa Korea secara gratis di fakultas sastra. Dan ketika jurusan D3 Sastra Korea serta Pusat Studi Korea sudah benar-benar berdiri di universitas itu, tidak ada lagi belajar bahasa gratis. Nyaris hampir bersamaan, Indonesia juga diserbu oleh produk-produk Korea. Dan masyarakat Indonesia pun siap menerima kehadiran film-film Korea.

Untuk sementara, saya cukup puas dengan jawaban itu.

Referensi

  • Barker, Chris, Cultural Studies: Teori dan Praktik, Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2005
  • Hu, Kelly, The Power of Circulation: Digital Technologies and the Online Chinese Fans of Japanese TV Drama, Inter-Asia Cultural Studies, Volume 6, No 2, 2005
  • Juliastuti, Nuraini, Budaya Televisi, Meteor Garden, dan Remaja Perempuan, Jurnal Perempuan No. 37, 2004
  • Merdikaningtyas, Yuli Andari & Alia Swastika, Meteor Mimpi, Meteor Garden, Newsletter KUNCI No. 12, Juni 2003
  • Merdikaningtyas, Yuli Andari, Demam K-Drama dan Cerita Fans di Yogyakarta, Clea No. 9, Januari 2007 (http://clea.kunci.or.id)
  • Sun, Wanning, A Chinese in the New World: Television Dramas, Global Cities, and Travels to Modernity, Inter-Asia Cultural Studies, Volume 2, No 1, 2001
  • Wilson, Rob, Korean cinema on the road to globalization: tracking global/local dynamics, or why Im Kwon-Taek is not Ang Lee, Inter-Asia Cultural Studies, Volume 2, No 2, 2001

Alamat halaman ini: http://kunci.or.id/esai/spec/juliastuti_mengunyahasia.htm

Pali-Pali dan Atheis

Liburan musim dingin kali ini saya nikmati sambil bekerja. Kebetulan Hankuk University of Foreigh Studies (HUFS) Korea sedang membuka kelas khusus, Global Business Comunication. Kelas yang mengajarkan bahasa asing untuk karyawan perusahaan atau orang umum yang ingin mengisi liburan mereka dengan belajar bahasa asing. Dan saya diminta untuk mengajar Bahasa Indonesia di sama, dari tanggal 22 desember 2008 sampai Februari 2009.
Saya menikmati pekerjaan sampingan itu dengan santai. Mengajar 3 jam sehari bukan sesuatu yang berat atau melelahkan. Apa lagi ini kerja budaya, mengajarkan orang untuk kenal bahasa dan budaya Indonesia. Menyadari hal itu, kadang kala saya merasa gagah dan menjadi bersemangat.
Ada empat orang karyawan dari PT. Samsung, perusahaan eletronik terbesar di Korea, yang belajar di kelas saya. Mereka mengenal Indonesia tetapi sama sekali tidak tahu bahasa Indonesia. Agak sedikit sulit mengajar mereka pada permulaan, tetapi semangat belajar mereka sangat tinggi. Hanya dalam waktu satu minggu kami sudah mulai bisa berdialog dalam bahasa Indonesia secara perlahan.
Kemaren saya mendapatkan wajah-wajah murung di kelas. Seperti biasa say a memulai pelajaran dengan bertanya, “Apa kabar Anda hari ini?”
Dan secara serentak mereka menjawab lambat, “Tidak baik…”
Seperti biasa juga, saya selalu memulai kelas dengan senyum, tapi kali itu saya terpaksa mengurungkan niat tersenyum. “Ada sesuatu yang buruk terjadi dengan Anda semua?”
“Ya. PT. Samsung mungkin tidak jadi memberangkatkan kami ke Indonesia. Perusahaan mengalami krisis ekonomi,” jawab salah seorang dari mereka.
Saya sebenarnya tidak harus kaget mendengar pernyataan seperti itu. Saya tahu krisis ekonomi global yang hebat sedang melanda Korea. Karena itu, sewaktu memulai kelas seminggu yang lalu saya bertanya tentang hal tersebut. Kenapa perusahaan mereka mengirim banyak orang untuk belajar ke luar negeri. Apakah mereka tidak mengalami kesulitan keuangan akibat krisis ekonomi?
Saya tahu ada sekitar seratus orang lebih karyawan PT. Samsung yang mengikuti kursus bahasa dalam program Global Business Comunication HUFS kali itu. Dan mereka akan dikirim untuk belajar keberbagai Negara yang menjadi daerah pasar produk PT. Samsung. Saya lihat daftar Negara tersebut berdasarkan kelas-kelas yang dibuka yaitu: Kelas bahasa Indonesia, bahasa Malaysia,bahasa Vietnam,bahasa Bulgaria,bahasa bahasa Sudan,bahasa Arab,bahasa Iran,bahasa Itali,bahasa Spanyol,bahasa Ceko,bahasa Kroasia, bahasa Portugal,bahasa Phinlandia,bahasa Hunggaria,bahasa Turki dan bahasa Rumania.
Tentu saja Samsung, perusahaan eletronik terbesar di Korea itu, memerlukan biaya besar untuk semuanya. Tetapi para pelajar di kelas sayatersebut menjawab dengan pasti,”Banyak perusahaan mengalami krisis di Korea. Tapi Samsung tidak.”
Tapi saya tidak yakin. Yang saya yakini adalah, jawaban mereka bukti sikap optimis orang Korea saja. Karena itu saya tidak begitu kaget ketika kemudian mendengar cerita mereka tentang krisis yang dialami Samsung.
Para murid bahasa saya itu terlihat sangat kecewa. Mereka kehilangan semangat belajar. Dan saya tentu saja tidak bisa memaksa mereka untuk terus belajar. Jadinya, hari itu kami hanya ngobrol-ngobrol saja.
Dari obrolan itu saya tahu betapa beratnya menjadi penduduk di Korea. Mereka bekerja keras dan harus. Erik yang bekerja sebagai manajer tingkat menengah harus menghabiskan waktunya selama 14 jam sehari di kantor. Untuk itu dia hanya mendapatkan gaji sekitar 3500 won per jam. Karena itu insinyur listrik tersebut mengaku tak pernah kaya. Bahkan, karena posisinya yang sudah baik,hari Sabtupun dia harus tetap masuk kantor.
“Kapan anda berkumpul dengan keluarga?” Tanya saya. Bukankah keluarga sesuatu yang penting?
“Malam hari. Kadang kala saya hanya bisa melihat wajah anak yang sudah tertidur,’ ujar ayah dua orang anak tersebut.
“Negara Korea memang lebih kaya. Tetapi kami miskin. Kami harus bekerja dengan cepat dan hasil yang baik. Tetapi uang kami sedikit. Banyak hal terasa mahal,” tutur Alex, murid yang lain.
“Bagaimana dengan bos anda. Apa mereka bisa jauh lebih kaya?”
“Tentu. Mereka kaya sekali,” semua menjawab serentak.
“Kenapa Anda tidak menuntut kenaikan gaji dan sebagainya?”
Di Korea dan di PT Samsung kami tidak boleh demonstrasi.” Jawab mereka.
Waduh. Ini namanya bukan demokrasi, batin saya.
Karena beratnya tuntutan kerja, maka menurut mereka banyak orang Korea yang mengalami stress bahkan bunuh diri. Menurut saya, hal itu juga karena agama bukan sesuatu yang penting bagi mereka. Jadi mereka tak punya sandaran spiritual yang kuat. Erik tidak beragama. Sekitar lima puluh persen penduduk Korea memang memilih tidak beragama. Alex seorang cristianis tetapi katanya dia tak memahami agamanya dengan baik. Tepatnya tidak sempat.
Di halte atau stasiun saya selalu mendengar orang berkata; Pali-pali (cepat-cepat). Saya bertanya tentang hal ini,”Apa yang membuat Anda selalu harus bergegas?”
“Kalau tidak begitu kami akan tertinggal,” ujar mereka dengan nada hampir-hampir putus asa. Dan mereka tidak mau tertinggal. Tepatnya, system tidak memberi ruang untuk mereka tertinggal.
Tentu saja bagi saya yang punya slogan ; Slowly but sure, ini sungguh di luar akal sehat.
“Manusia bukan mesin,” kata saya.
“Ya kami bukan mesin. Tapi sudah menjadi seperti mesin.”
Lalu kami sama-sama terdiam. Di luar salju terlihat turun, semakin lama semakin semakin deras. Tepat jam 4.30 sore saya harus mengakhiri kelas hari itu.
Bus ke Gwangju akan datang dalam sepuluh menit. Saya harus berlari menuruni bukit menuju halte. Dan tiba-tiba saya mendapati diri sebagai bagian dari warga Korea, bergegas agar tidak ketinggalan.**
Ka’bati/Gwangju 31 des 2008

Sekolah di Korsel

Tulisan ini saya downloads dari Asia calling lo….

Bila sebagian besar lulusan sekolah menengah Korea Selatan berlibur selama beberapa bulan sebelum masuk universitas, ada juga yang menghabiskan liburan mereka dengan belajar.

Banyak pelajar memilih untuk mengasingkan diri mereka di sekolah yang disebut ‘cram school’ atau sekolah persiapan sebelum masuk perguruan tinggi.

Sekolah ini berlangsung tujuh hari seminggu, tanpa libur.

Tapi semua waktu dan uang yang dihabiskan untuk pendidikan ini mungkin tak ada artinya begitu para pelajar masuk ke dunia kerja.

Dari Gwangju, di luar kota Seoul, Jason Strother menyajikan kisahnya. Dibacakan Sutami.

Pepohonan menutupi pegunungan yang mengelilingi Akademi Etoos di kota kecil ini. Lapangan bola basket di luar perpustakaan sekolah sepi. Satu-satunya suara yang terdengar adalah bunyi jangkrik. Ini adalah tempat yang tepat untuk belajar.

Gu Young Ju, 18 tahun, telah menghabiskan enam semester dari total 10 semester di sekolah itu. Menurut dia, jadwalnya sangat padat, nyaris tak tersisa waktu untuk tidur.

“Saya bangun pukul 6.30 setiap pagi, setelah itu olahraga dan jam bebas sampai pukul 8. Kelas dimulai pukul 9. Setelah makan siang, masuk kelas lagi. Ada juga kelas malam. Setelah itu saya belajar sendiri sampai sekitar tengah malam, baru tidur.”

Di dalam perpustakaan, para pelajar duduk diam dalam ruang-ruang bersekat, seperti tertimbun di antara tumpukan buku.

Ada beberapa aturan yang sangat ketat di sekolah ini. Pelajar bisa dikeluarkan jika menggunakan telfon genggam atau bahkan sekadar mendengarkan musik.

Direktur Etoos, Lee Seung Ho, mengatakan ini membuat sekolahnya tampak seperti kamp pelatihan calon tentara.

Beberapa orang menyebut tempat ini seperti Sparta, penjara atau pangkalan militer, tambah Lee. Tapi menurut dia, ini sekadar ingin menciptakan suasana supaya para pelajar bisa fokus belajar. Lee bahkan mengaku mereka cukup liberal.

150 pelajar yang ada di Etoos tidak punya nilai yang cukup pada ujian masuk perguruan tinggi nasional, untuk bisa masuk pilihan favorit mereka.

Di Korea Selatan, diterima di universitas ternama tak hanya prestasi bagi si pelajar namun sekaligus mencerminkan prestasi keluarganya.

Lee menjelaskan mengapa orangtua di Korea mau membayar lebih dari 180 juta rupiah untuk mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolahnya.

Ia mengatakan pelajar di Korea harus mengikuti tes agar bisa masuk universitas. Masuk ke universitas akan menaikkan status sosial dan membantu mendapatkan pekerjaan yang baik.

Tapi, walau mereka sering sekali belajar, mengacu ke banyak laporan, kualitasnya justru rendah.

Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum menempatkan pendidikan tinggi di Korea Selatan pada posisi ke-60. Survei lain yang dilakukan Institut Pengembangan Manajemen Internasional dari Swedia menempatkan pendidikan di Korea Selatan di urutan bawah, dalam mempersiapkan para lulusan untuk bekerja di lahan pekerjaan yang kompetitif.

Kritikus mengatakan, masalah di sistem pendidikan di negeri itu dimulai dari tingkat sekolah dasar.

Tom Coyner, Presiden Soft Landing Consulting di Seoul, mengatakan ujian banyak dilakukan dengan cara pilihan ganda, seperti ujian masuk perguruan tinggi. Ini mengekang kreativitas dan kemampuan berpikir kritis anak-anak Korea.

“Dalam hal ini ada kebutuhan untuk tak membuang waktu mencari alternatif jawaban lain. Tapi hanya fokus ke mencari satu jawaban yang benar, dan itu terjadi secara konsisten. Mental seperti ini yang terus terbawa sampai ke tingkat universitas.

Coyner menambahkan, banyak perusahaan Korea yang mewajibkan lulusan universitas untuk mengambil ujian dengan jawaban pilihan ganda saat melamar pekerjaan.

Titik berat pada ujian standar seperti ini, pada akhirnya, membuat orang Korea kurang bisa berkompetisi di panggung dunia.

Menurut Conyer perhatian yang lebih pada pembentukan cara berpikir kritis akan membantu mendorong perekonomian Korea.

“Saya tidak bilang bahwa kemampuan individu Korea lemah dalam hal ini. Kadang malah mereka punya kemampuan individual yang sama atau lebih baik. Tapi dalam organisasi, mereka tidak diberi ruang untuk melatih kemampuan ini, karena sistemnya tidak mengizinkan.

Direktur sekolah, Lee Seung Ho, setuju adanya ruang untuk mengembangkan sistem pendidikan nasional. Menurut dia, para pelajar menyadari bahwa tes tidak secara akurat mengukur pengetahuan mereka.

Menurut Lee, ujian seharusnya dibuat lebih obyektif, sehingga murid merasa lebih percaya diri akan hasil yang dicapai. Jika ingin membuat perubahan pada sistem pendidikan, maka pelajar akan menerima bahwa kemampuan mereka sudah dinilai secara adil.

Baru-baru ini, bagian esai baru saja ditambahkan dalam ujian kemampuan menulis. Presiden Lee Myung Bak telah mengusulkan perubahan dalam cara universitas menerima mahasisa baru. Tapi ini masih harus menghadapi perlawanan dari serikat guru.

Pelajar sekolah Etoos, Gu Yeong Ju mengaku masih ada tiga bulan lagi untuk mempersiapkan diri untuk kedua kalinya mencoba masuk ke universitas.

Tapi ia mengatakan, jika ia tidak mendapat nilai yang cukup untuk masuk ke sekolah impiannya kali ini, ia tak mau kembali ke cram school atau sekolah persiapan ini.

“Itu tergantung nilai saya. Kehidupan sekolah di sini sangat melelahkan. Saya tak tahu apa bisa kembali untuk kedua kalinya. Jadi, saya akan masuk universitas yang berbeda dan belajar sungguh-sungguh di sana.”

Bunuh Diri di Korea

Suka film or drama Korea?Wah pasti banyak yang suka ya. Apa lagi Hello! Miss (hello!my Lady) yang diangkat dari novel Kimchi Mandu karya Park Young Sook adalah salah satu yang paling digemari orang Indonesia. Lee Young Ae, pemeran serial drama klasik Jewel in the Palace  (Dae Jang Geum) juga menjadi artis yang dipuja. Bahkan dramaPrincess Hours sempat diputar berulang-ulang di Indosiar.

Saya sih nggak suka-suka amat. Tetapi memang mereka pandai berakting dan memainkan perasaan penonton yang melankolis. Walau pada realitasnya banyak nggak benar nya lo. Laki-laki Korea nggak banyak romantisnya. Kawan-kawan saya yang ibu-ibu itu sering cerita bagaimana kasarnya suami-suami di Korea. Mereka suka marah. Ketika mereka tahu suami saya senang membantu pekerjaan rumah, memasak dan ikut berbelanja ke pasar mereka heran. Dan pertanyaan yang sering ditanyakan pada saya adalah: Suami tak marah???

Tingkat stress di Korea memang tinggi dan itu banyak dialami laki-laki. Wajib militer, tanggungjawab material untuk keluarga dan aktifitas yang menuntut gerak cepat membuat banyak orang Korea mudah panik dan stres, lalu ujung-ujungnya bunuh diri.

Kalau mau bunuh diri datanglah ke Korea. Disini selalu ada musimnya. Jadi di negara ini bukan hanya optimistik yang ada tapi kebalikannya juga rame. Dan yang banyak bunuh diri itu laki-laki lo…

Dalam dua bulan ini ada tiga artis yang bunuh diri.

Kata Jung, seorang kawan, bunuh diri memang pilihan yang mudah dibanding harus ikut wajib militer, berkompetensi di dunia kerja atau bertarung merebut hati perempuan.

Hehe Jung memang benar ya. Tetapi dari dulu aku paling benci kata bunuh diri lo. Paham sunni yang ekstrim yang membesarkanku juga mengatakan bahwa bunuh diri itu haram. Bahkan melihat wajah orang yang bunuh dirialah itupun maksiat harus dijauhi. Loteng kamar saya dulu waktu kecil dilem engan kertas koran, agar debu dari pelupuh bambu yang menjadi loteng sebenarnya tidak jatuh ke muka waktu tiur. Nah di salah satu Koran itu tertulis besar-besar b judul sebuah artikel: Bunuh Diri Perbuatan Terlarang Dalam Agama Budha disebut Ngulah Pati.

Tiap malam sebelum tidur, saya selalu membaca tulisan itu. Sampai sekarang saya mengingatnya, bahkan bentuk hurufnya saya hafal dengan baik.

Sebenarnya mau bunuh orang Korea gampang saja: Tekan mereka, kecewakan mereka dan hina harga diri mereka. Karena kalau mereka berhadapan dengan itu maka pilihannya adalah bunuh diri. dan itu artinya kita punya andil membunuh mereka. Tapi jangan ya, agama tidak mengajarkan kita jadi pembunuh.

Tadi malam ada beberapa orang yang makan malam di rumah kami. Kebetulan ulangtahun Lana, anak kami yang ke dua. salah seorang dari yang datang –saya lupa namanya siapa–terlihat layu saja. Saya tanya apakah dia punya rencana liburan akhir tahun?

Dengan lesu di jawabnya, TIDAK! Tidak punya uang…

Waduh, ini anak jangan-jangan tak lama lagi bunuh diri pula…

Semoga pertemuan dengan saya memberinya semangat untuk hidup dan mati dengan wajar. Walau tidak harus menjadi Muslim heheh

Saya tidak mendakwahinya tetapi niat hati hanya berusaha menbuatnya lebih optimis.

Kapitalis CS Komunis

Sepanjang siang tadi saya menghabiskan waktu berkumpul dengan teman-teman Korea yang baru saya kenal. Ada Ha Chae Jung alias Jasmin, ada Park Soon Hee alias Suny, ada Song Mee Sun alias Sanny. Eh jangan heran ya kalau mereka punya nama alias. Kebanyakan perempuan muda korea sepertinya sadar kalau nama Korea mereka agak susah disebut oleh lidah asing, makanya mereka juga menyiapkan nama  internasional, ini istilah saya saja. Kita bicara banyak hal juga melakukan banyak hal. Makan siang bersama, memasak, berbagi cerita soal anak dan pengalaman sewaktusewaktu gadis juga harapan dimasa depan. Waduh menyenangkan sekali berada bersama mereka sejenak mengurai kebosanan dan rutinitas. Mereka para ibu muda dari masyarakat kelas menengah. Suami-suami mereka bekerja di perusahaan dengan jabatan setingkat menejer. Tetapi mereka tidak bekerja di luar rumah tetapi hanya mengurus anak. Rata-rata punya anak dua dan masih balita. Mereka berkeyakinan mengasuh anak lebih baik dari pada bekerja dan menyerahkan pengasuhan anak pada orang lain. Bagi mereka anak adalah masa depan karena itu terlihat sangat total. Rata-rata apartemen mereka yang luasnya sekitar 12×10 meter itu penuh dengan berbagai permainan anak. Saya berpikir mungkin permainan anak itu juga permainan yang mengasikkan bagi mereka. Membeli mainan untuk anak juga permainan untuk ibunya agar tidak bosan. Karena walaupun mereka sadar mengasuh anak adalah tanggungjawab utama para ibu namun sering saya tangkap kata-kata bosan dan keluhan dari bibir mereka. Yea, biasalah.

Kita bicara soal berbelanja, makanan, sauna dan gaya hidup konsumtif turunan budaya kapitalis (?) lainnya. Tetapi di rumah Jasmin saya sempat terpaku menatap photo seorang anak Banglades. Lalu saya tanya Jasmin, Who Is She? Ternyata anak angkatnya. Menurut mereka, masing-masing keluarga yang merasa mampu akan mengangkat anak. Mereka anak-anak kurang mampu dari berbagai negara. Ada yayasan sosial yang mengelolanya. Mereka cukup memberikan sedikit dari gajinya, minimalnya 10.000 won (Rp80.000) setiap bulan untuk anak-anak itu lewat yayasan tersebut. Sunny, Sanny dan yang lain juga punya anak angkat. Kata mereka walau gaji suami tidak terlalu besar bahkan pas-pasan saja tetapi membantu sedikit untuk kemanusiaan adalah hal yang membahagiakan. Waduuh, saya sungguh malu karena saya tidak punya anak angkat seperti mereka. Sikap kemanusiaan itu timbul saya pikir bukan karena dorongan agama, toh Jasmin mengaku atheis. Katanya itu karena budaya orang Korea yang suka berbagi. Di rumah Sunny saya juga dihadapkan pada budaya suka berbagi tersebut. Satu ketika ada yang mengantarkan baju bekas satu kardus besar. Masih bagus tapi sudah tidak terpakai lagi. “Tidak baik menyimpannya di rumah. Mungkin akan bermanfaat kalau dibagikan kepada teman-teman.” Begitu kata yang memberi. Lalu baju tersebut dipilih bersama-sama. Siapa suka boleh mengambilnya.

Ketika berjalan pulang, dan memikirkan lagi kejadian hari tadi, ada kesimpulan kecil dalam kepala saya: Selain kapitalisme ala Amerika, mungkin inilah tradisi komunis yang terwariskan dibumi jajahan Cina ini, sama rasa

Atau kesimpulan ini hanya untuk menutupi rasa malu saya sebagai seorang muslim yang ajaran agamanya sarat dengan teori kemanusiaan tetapi sangat susah untuk menjadi humanis. Hehe….

Idul Adha-ku

Kali ini takbiran idul adha hanya bergema dalam dada saja. Sejauh mata memandang, dari ketinggian bukit tempat tinggal tak tampak satupun kubah masjid. Di muka atau di belakang, bangunan keagamaan yang tampak hanyalah gedung dengan tanda salib. Lalu dalam kesendirianku ini terbersit tanya, apakah aku masih bagian dari umat Islam? Atau aku seperti sehelai rambut yang tercabut dari kepala?Ada keinginan untuk mencari kawan, mungkin saja ada mesjid di Kota Gwangju dan ada orang yang melaksanakan Idul Adha. Tapi dalam suhu sedingin ini, di hari kerja pula, kawan mana yang bisa kuajak berjalan-jalan? Akhirnya kunikmati saja keterpisahan ini. Dan gemuruh takbiran di dada saja cukuplah.

Lalu kubayangkan seorang muslim yang lain, berdiri di sudut bumi yang lain, sendiri. Mungkin di Amerika sana, Australia, atau di Antartika sana? Masih umat Islamkah mereka? Dapatkah kerumunan masa yang sedang wukuf di Arafah sana merasakan keterasingan kami?

Idul Adha, seperti juga Idul Fitri, adalah waktu dimana ummat akan berkumpul, bercerita dan berbagi. Berkorban dan menerima korban. Dikala itulah terasa bagaimana nikmatnya hidup bersama dan alam kebersamaan.

Dari sini, saya bisa melihat ummat Islam bergembira. Saya bisa melihat mereka saling berbagi dan saya seolah turut merasakan bahagia karena memang bagian dari mereka. Hanya saja saya tak ada bersama mereka. Kurangkah kebahagiaan mereka? Saya yakin tidak. Hilangkah rasa kebersamaan saya, saya yakin juga tidak. Lalu pertanyaannya, perasaan apa ini yang membuat hati saya menjadi terikat kuat dengan mereka? dengan kemeriahan Idul Adha?Apakah seandainya saya bukan seorang muslim dari Indonesia—yang dibesarkan dalam tradisi Idul Adhanya memang selalu meriah—, juga akan menyimpan perasaan bahagia yang sama? Kerinduan yang sama?

Lalu saya teringat sebuah kata, Ummatan wahidah. Ummat yang disatukan oleh sebuah keyakinan. Inilah sumber rasa itu. Bersama atau terpisah, itu hanya soal waktu dan tempat. Dan kenyakinan ternyata tak mengenal itu. Allah, Muhammad…Sebuah sumber yang dahsyat!!

Dan aku terpalu

Dalam zikir

Lidahku kelu

Deaju, 8/12/08